Memahami Stoikisme

Dalam setiap kebudayaan di dunia, entah sekuler atau religius, kosmopolitan atau kesukuan, selalu ada topik yang menjadi bahasan utama, yaitu bagaimana cara menjalani hidup, bagaimana menghadapi disrupsi, serta bagaimana menyongsong tantangan hidup.

Pernahkah teman-teman mendengar istilah Stoic, StoikStoicism, atau Stoikisme atau bahkan baru kali ini mendengarnya?


Saya adalah seorang Stoic sejak tahun 2019, semua bermula setelah saya membaca sebuah buku berjudul "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring. Menurut saya "Filosofi Teras" adalah sebuah buku pengantar filsafat Stoa yang sangat mudah dipahami dan aplikabel untuk anak muda.




Setelah menyelesaikan buku tersebut, saya mulai mempelajari lebih jauh apa itu Stoic dan sejarah yang menyertainya. Berbeda dengan filosofi lain, Stoikisme lebih menekankan pada praktik dalam kehidupan dibanding konsep abstrak.


Sebelum lebih jauh, beberapa waktu lalu saya sempat memutuskan untuk rehat dari sosial media selama hampir sebulan, keputusan ini saya ambil karena saya seorang Stoic. Saya merasa bahwa belakangan sosial media mulai membuat saya sulit fokus, merasa cemas, lelah secara mental dan emosi.


Kemudian saya putuskan untuk benar-benar menghilang sejenak dari sosial media, pada awalnya memang cukup sulit. Namun akhirnya saya mulai bisa mengisi waktu kosong saya dengan hal-hal lain yang lebih bermanfaat seperti membaca buku, menulis jurnal, dan sebagainya. Beberapa minggu berlalu dan saya mulai menemukan hidup saya kembali setelah merasakan nikmatnya hidup di dunia nyata daripada di dunia maya.


Tapi apa itu Stoikisme? Kenapa saya menjadi Stoic? Bagaimana asal-usulnya?


SEJARAH


Stoicism/stoikisme didirikan di Athena oleh pedagang Fenisia Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM, namun baru terkenal setelah dipraktikkan oleh orang-orang seperti Epictetus, Seneca dan Marcus Aurelius. Filsafat stoikisme ini merupakan salah satu filsafat yang kini banyak dianut oleh millennials untuk mendapatkan mental yang lebih sehat.


Stoicism adalah salah satu gerakan filosofis baru dari periode Helenistik. Nama ini berasal dari kata stoa poikilê yang berarti teras, teras yang terletak di Agora Athena yang dihiasi dengan lukisan mural yang indah, sebuah tempat dimana para akademisi berkumpul atau bisa dibilang ruang belajar mengajar berada.


Stoicism tidak peduli pada teori-teori rumit tentang dunia, melainkan membantu kita mengatasi emosi yang merusak dan bagaimana bertindak dengan benar. Seorang filsuf stoic, Epictetus, yang lahir sekitar tahun 55 M atau dikenal sebagai seorang budak di kota Greco-Roman, Hierapolis – sekarang Pamukkale.


Epictetus memiliki sebuah nasihat terkenal yang bunyinya, "Beberapa hal ada yang di dalam kendali kita dan beberapa hal lainnya tidak dalam kendali kita". Bagi Epictetus, satu-satunya hal yang bisa kita kendalikan sepenuhnya dan hanya itu yang harus kita perhatikan adalah penilaian kita sendiri tentang apa yang baik dan tidak untuk kita lakukan.


FILSAFAT STOIKISME


Mendefinisikan istilah Stoikisme ini memang sedikit kompleks, karena cakupannya sangat luas. Filsafat ini bukan tentang ajaran agama atau hal-hal yang berhubungan dengan itu, ini hanyalah sebuah cara pandang menusia terhadap kehidupan, sehingga sama sekali tidak berbenturan dengan ajaran agama atau apapun. Sebetulnya pesan-pesan yang seringkali orang tua kita sampaikan juga sudah mempunyai makna yang sama, hanya saja kita tidak menyadarinya.


Ada sebuah konsep dalam Stoicism yang bernama “Dikotomi Kendali”, dikotomi kendali secara sederhana menjelaskan bahwa semua hal di dunia ini terbagi menjadi 2 hal, yaitu hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Dan untuk bisa bahagia, kuncinya adalah kita hanya perlu memperhatikan hal-hal yang bisa kita kendalikan saja.


Apa saja hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan? Faktor-faktor eksternal yang meliputi perasaan orang lain, respon orang lain, adanya pandemi covid-19 kemarin, dan sebagainya. Lalu apa hal-hal yang bisa kita kendalikan? Tentu saja faktor internal yang meliputi perasaan diri sendiri, persepsi diri sendiri, bagaimana cara kita merespon sesuatu atau sederhananya apapun yang berasal dari diri kita sendiri.


Filsafat Stoikisme ini mengajak kita untuk dapat melipat gandakan rasa syukur dan kebahagiaan melalui pengendalian terhadap diri sendiri. Bukan menaruh kebahagiaan pada faktor eksternal (sesuatu yang tidak dapat kita kendalikan), namun menaruh kebahagiaan pada faktor internal (sesuatu yang dapat kita kendalikan).


Filsafat ini juga mengajarkan kita untuk bersikap rasional dan selalu merespon semua hal yang kita temui dengan rasionalitas. Ada sebuah video keren dari Ferry Irwandi yang membahas tentang hal ini secara sederhana dan to the point.



KONSEP 3 LAPISAN DALAM HIDUP


Pernah pada suatu kesempatan saya mendengarkan sebuah cerita dari Mas Sabrang (Vokalis Letto). Beliau menceritakan bahwa ada sebuah konsep kehidupan yang dia pakai dalam menjalani hidup. Konsep ini saya lupa namanya, tapi intinya kita harus membayangkan bahwa kita memiliki 3 lapisan di luar diri kita, yang perlu untuk kita perhatikan dalam merespon segala sesuatu. Sehingga kita tahu bahwa sesuatu itu masuk pada lapisan yang mana dan butuh energi sebesar apa. Konsep ini sangat menarik bagi saya, karena memiliki prinsip yang hampir mirip dengan filsafat Stoikisme.


Lapisan yang pertama atau paling dekat dengan diri kita dan butuh energi paling besar serta paling harus dipikirkan yaitu lingkar pengaruh, dimana kita benar-benar bisa mempengaruhi sekitar kita. Contohnya adalah saat kita menjadi pengemudi motor, ketika kita sedang menyetir kita bisa mempengaruhi motor tersebut untuk pergi kemana pun yang kita inginkan. Intinya, sepenuhnya kita benar-benar bisa mengendalikan apa yang ingin kita lakukan, karena hal tersebut langsung berada di depan kita.


Lapisan yang kedua disebut sebagai lingkar peduli, disini kita memedulikan sesuatu namun kita tahu bahwa kita tidak bisa merubah terlalu banyak. Contohnya adalah ketika kita sedang membonceng, kita tidak bisa mempengaruhi motor untuk pergi kemana, yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan navigasi atau saran pada pengemudi. Jadi apabila ada hal-hal yang berbeda dengan apa yang kita harapkan, misalnya saja salah jalan atau lain sebagainya, maka kita tidak perlu stress, karena sudah keputusan awal kita untuk ikut membonceng, jadi apapun jalan yang dipilih pengemudi kita hanya bisa mengikuti.


Lapisan yang ketiga disebut sebagai lingkar perhatian. Contohnya adalah ketika kita sedang membaca koran, melihat ada berita tentang perang dagang Amerika dan China, pemilu diundur, harga minyak meroket dan sebagainya. Mau kita ikut-ikutan stress dan pusing itu tidak akan merubah apapun disitu, jadi tidak perlu menghabiskan energi terlalu banyak untuk hal-hal semacam itu. Yang kita perlukan itu hanya belajar melihatnya dengan cara pandang yang lebih luas, kita pelajari, sehingga dapat kita ambil pengalamannya, agar kita bisa mengaplikasikannya pada lingkar pengaruh kita.


Intinya adalah bagaimana cara kita mengendalikan cara pandang kita dan membaginya pada lapisan-lapisan tersebut dengan bijaksana, baik dan benar. Sehingga pada akhirnya kita tahu apa respon terbaik dari sebuah kejadian atau sesuatu yang terjadi pada diri kita.


KESIMPULAN


Stoikisme mengajarkan kita untuk selalu sadar dan bersyukur. Konsep yang dibawa oleh filsuf Yunani ini apabila kita pelajari dengan sungguh-sungguh, sebenarnya memiliki banyak kemiripan dengan konsep agama maupun norma yang sudah ada saat ini. Untuk saya pribadi konsep Stoikisme ini sangat menarik karena masih relevan hingga sekarang. Intinya, cara hidup bahagia itu sejatinya sudah ada rumusnya sejak dahulu kala, tinggal diri kita saja, apakah mau belajar dan mempraktikkannya atau tidak.


Baca juga : 


#BelajarBerkaryaBerbagi 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.