Apakah Filsafat Masih Relevan di Era Akal Imitasi?

Renungan Ringan Tengah Malam Eps — 05
Ngomong-ngomong, saya bukan filsuf, dan tak pernah belajar filsafat secara formal. Saya hanya seseorang yang, di antara larut dan secangkir kopi, kadang tersesat dalam pikiran-pikiran yang tak selalu logis, sehingga terasa penting untuk saya arsipkan dalam tulisan. Halah :D
Patung Le Penseur (Sang Pemikir) karya Auguste Rodin di atas sering dipersepsikan sebagai ikon pemikiran mendalam (mencitrakan sosok yang tengah merenung), sebuah representasi kuat atas istilah filsafat. Di sisi lain, Era Akal Imitasi (AI) hari ini telah merevolusi cara manusia bekerja, belajar, dan mengambil keputusan. Lewat algoritmanya yang kerap beroperasi dibalik layar, senyap, dan bahkan membuat kita sulit menyadari bagaimana ia perlahan memengaruhi kehidupan kita.
Muncul sebuah pertanyaan besar: Apakah filsafat masih relevan?
Beberapa waktu belakangan, diskursus perihal filsafat ini juga cukup mencuat di media sosial, selain dipicu oleh poster satir seperti tema acara “Merayakan Kematian Filsafat?”. Ferry Irwandi (seorang influencer publik) juga memantik dialektika dengan cukup provokatif yang menyebut “jurusan filsafat sudah tidak lagi relevan. Untuk mempelajari filsafat kita butuh spesialisasi keilmuan yang empirik,”. Pernyataan tersebut tak ayal berhasil memancing atensi publik, tiba-tiba tebersit juga sebuah pertanyaan dalam benak saya, jika algoritma atau Akal Imitasi (AI) ini mampu “berpikir” imitatif, apakah kemampuan berpikir kritis dan kreatif manusia sudah tidak lagi diperlukan?
Sebagai seorang penulis lagu, pernyataan retoris ini juga cukup mengusik saya: “ketika perkembangan teknologi semakin pesat, Akal Imitasi (AI) bahkan mampu untuk membuat puisi hingga tulisan yang penuh makna, maka apa gunanya lagi seorang penyair dan penulis?”. Apakah Anda juga tersentil? Ternyata kita sama, tapi intinya, perubahan adalah sebuah keniscayaan, sehingga yang perlu kita miliki hari ini adalah satu pertanyaan mendasar, sejauh mana Akal Imitasi (AI) ini mampu meniru daya cipta manusia?
Filsafat tradisional menekankan proses dialogis dan penalaran mendalam yang tidak sekadar menjalankan sebuah algoritma, ada sentuhan manusiawi dan pertimbangan etis yang hanya bisa lahir dari kesadaran dan nurani manusia. Boleh jadi jika kita terbiasa menyerahkan tugas pada mesin untuk menentukan jawaban atau kebenaran tanpa kritik, proses berpikir kritis manusia akan terancam tumpul. Oleh karena itu, tantangan utama hari ini adalah tetap menjaga ruang bagi nalar yang mandiri, bukan hanya pasrah menanti “jawaban” dari mesin yang kita gunakan.
Algoritma Media Sosial
Hari ini, algoritma di platform media sosial bertugas menjadi kurator tak terlihat, ia akan berusaha memfilter setiap konten berdasarkan riwayat interaksi kita sebagai pengguna. Tujuannya tentu saja untuk membuat kita betah berlama-lama di dalamnya, namun apakah hanya untuk itu? Atau ada hal lain yang sebenarnya tidak kita tahu? Coba tanyakan pada diri sendiri? Pernahkah kita berhenti sejenak dan merenung, bagaimana sebenarnya kita menyerap informasi di era digital ini?
Di tengah konten random yang datang bukan sebagai pengetahuan, melainkan hanya cerminan selera kita sendiri, lahirlah sebuah fenomena yang disebut “filter bubble”. Kita tidak lagi membaca untuk mencari tahu, melainkan untuk mengonfirmasi. Algoritma menyajikan dunia seperti yang hanya ingin kita lihat, rapi, nyaman, sejalan. Namun tanpa kita sadari perlahan menutup celah bagi perbedaan, bagi distraksi, apalagi pertanyaan. Lalu datang lagi “echo chamber”, ruang gema digital yang menenangkan sekaligus membius. Di sana, kebenaran bukanlah sesuatu yang perlu diuji, melainkan sesuatu yang diulang-ulang sampai terdengar seperti kebenaran absolut. Kita menyimak, tapi tidak mendengarkan. Kita bicara, tapi hanya pada bayangan diri sendiri.
Hadirnya filsafat diharap bisa jadi semacam distraksi yang sehat. Ia mengajukan pertanyaan ketika semua orang sibuk memberi jawaban. Di era Akal Imitasi (AI), di mana nalar disubkontrakkan pada sistem yang dirancang untuk menyenangkan semua orang, filsafat muncul sebagai pengingat bahwa berpikir itu tidak selalu efisien, tidak selalu nyaman, dan sering kali tidak populer. Tapi justru di situlah nilainya. Ia membuka ruang bagi kebingungan, kegamangan, dan keberanian untuk keluar dari pola. Sebab jika kita hanya dibiarkan mengonsumsi apa yang ingin kita dengar, maka siapa yang akan memaksa kita bertemu dengan yang seharusnya kita renungkan?

Fenomena inilah yang menarik perhatian beberapa pemikir kontemporer. Malik Royan, penulis opini, mengajak kita untuk menjadikan filsafat lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Ia merekomendasikan kita menerjemahkan pemikiran Michel Foucault tentang kuasa agar kita bisa mengungkap cara kerja buzzer dan algoritma media sosial. Dengan bahasa yang lebih mudah, kita bisa melihat bagaimana jaringan kekuasaan yang Foucault gambarkan nyata dalam setiap scroll, komentar, dan atensi kita. Alih-alih hanya ada di kalangan akademik, filsafat harusnya jadi alat yang tajam untuk setiap orang. Apalagi, ketika algoritma sudah jadi bagian inheren dari dunia kita, filsafat lama wajib dihidupkan lagi dengan cara baru, misalnya dengan terus menerus mempertanyakan setiap bingkai teknologi, agar kita tidak terjebak menjadi tahanannya.
Warisan Filosofis
René Descartes, seorang filsuf dari masa ketika istilah “algoritma” belum pernah terdengar, memberi kita nasihat berharga di era digital ini. Ia menyerukan revolusi cara berpikir, “runtuhkan bangunan pengetahuan yang lama, lalu bangun kembali dari fondasi yang lebih kuat”. Seperti arsitek yang tidak pernah tergesa-gesa menempatkan tiang penyangga. Descartes memilih keraguan sebagai titik awal, bukan tanda lemah melainkan titik nol di mana kebenaran harus selalu dicari. Nasihat ini kembali relevan ketika kebenaran hari ini mudah hanyut di antara click, like, dan trending topic. Ketika kepercayaan lebih ditentukan oleh seberapa cepat sesuatu viral ketimbang seberapa validnya, dasar cara berpikir kita mesti diuji kembali. Kita butuh ruang skeptisisme yang bersih, bukan untuk menuduh segala-galanya mencurigakan, tapi untuk memastikan pengetahuan kita tidak berdiri di atas asumsi yang mudah runtuh. Di sinilah warisan Descartes kembali bergaung, untuk memahami dengan dalam, kadang kita mesti berani mempertanyakan. Ungkapan Tan Malaka soal, “sains tak boleh dijadikan kebenaran yang absolut”, juga mengingatkan kita bahwa pengetahuan ilmiah sekalipun harus selalu dibuka untuk kritik.
Di lain pihak, tradisi eksistensialis dan kritis menegaskan bahwa pengertian dunia tak cukup hanya diukur dengan hitungan statistik. Lebih jauh, beberapa pemikir abad ke-20 juga memperingatkan keterbatasan algoritma. Noam Chomsky menegaskan bahwa AI generatif “tidak pernah bisa berpikir kreatif” karena hanya bekerja berdasarkan statistik, pada dasarnya “hanya bisa plagiat atau plagiat tersembunyi”. Hal ini menyajikan sekat yang mendasar, algoritma dapat menghasilkan bentuk baru dari yang lama, tetapi belum tentu mampu meniru spontanitas kultural atau intuisi manusia. Sementara itu, Martin Heidegger, mengatakan ancaman paling serius dari teknologi modern bukan pada benda, melainkan pada cara berpikir yang ia sisipkan dalam diri kita. Ia menyebut cara berpikir ini Gestell atau Enframing, atau dalam bahasa Indonesia bisa kita terjemahkan sebagai membingkai. Pikirkan Gestell sebagai kacamata yang memaksa kita melihat segalanya sebagai barang yang bisa dieksploitasi. Sungai, hutan, dan bahkan sesama manusia, diubahnya menjadi “sumber daya” yang berharga bila diolah dengan efisien. Di zaman algoritma dan big data, kacamata ini makin samar. Data pribadi kita ditambang, dan kita pun tak sadar ikut menjadi barang yang ditukarkan. Heidegger bukan meminta kita menutup komputer atau membuang gadget. Ia justru mendorong kita melatih sikap dwelling. Sikap ini menuntut kedamaian, menjaga, memelihara yang lain, dan tanggung jawab. Ia mengingatkan, di balik setiap angka, algoritma, dan teknologi, ada nilai-nilai kemanusiaan yang wajib kita hormati, rawat, dan terus kita pertanyakan.
Kreativitas dan Agensi Manusia
Esensi filsafat terletak pada kreativitas dan kebebasan. Kreativitas manusia “adalah salah satu ciri pembeda yang paling menonjol” dibanding Akal Imitasi (AI). Mesin tidak mengalami lompatan ide intuitif atau asosiasi bebas seperti otak kita, kreativitas mensyaratkan pemikiran divergen yang melintasi batas-batas disiplin secara tak terduga. Algoritma memang bisa merakit model-model baru, tetapi semua itu berpatokan pada data historis, belum terbukti bahwa Akal Imitasi (AI) bisa melahirkan wawasan etika, estetis, atau filosofis dari nol.
Agensi moral manusia juga tak bisa dicabut begitu saja dan dialihkan ke mesin. Ambil contoh dilema etis sebuah kendaraan otonom, ada situasi di mana sebuah mobil otonom memasuki area peternakan, mobil ini melaju kencang karena remnya blong, dan harus memilih antara menabrak 1 kambing di sebelah kiri atau lima sapi di sebelah kanan, siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas pilihan moral yang diambilnya? Di titik inilah jelas terlihat bahwa algoritma, betapa pun canggihnya, tetap membutuhkan pijakan etik yang hanya bisa dimiliki manusia. Dalam filsafat etika, kita diajarkan bahwa yang penting bukan hanya hasil dari suatu keputusan, tetapi juga proses kontemplatif untuk sampai ke sana, proses yang mencakup diskusi, pertimbangan, dan kesadaran atas kompleksitas moral. Logika kalkulatif mesin, betapa pun akuratnya, berbeda dari rasionalitas reflektif manusia. Seperti yang ditegaskan Habermas, rasionalitas komunikatif yang mengandalkan dialog dan pencarian makna bersama adalah ciri khas manusia yang tak bisa direduksi menjadi algoritma. Sebab jika algoritma menghasilkan output, maka filsafatlah yang bertanya, mengapa itu penting? dan untuk siapa makna itu bekerja?
Sebuah Eksperimen Pemikiran
Untuk mengilustrasikan perbedaan pemikiran manusia dan mesin, kita bisa menjalankan beberapa eksperimen berikut:
- Pengambilan Keputusan Otomatis: Coba bayangkan jika algoritma menjadi otoritas tunggal dalam setiap keputusan publik. Ia menetapkan siapa yang boleh memimpin, siapa yang dipilih bekerja, dan siapa yang merasakan akibatnya hanya berdasarkan data. Keputusan seperti itu tampak objektif dan seakan tidak berpihak. Namun, tanpa pengawasan manusia, hasilnya bisa kejam, algoritma tidak merasakan emosi, tidak memahami rasa sakit, dan tidak peduli pada keadilan. Di sinilah filsafat hadir, bukan membantah data, tetapi mempertanyakan nilai yang menyokong setiap pilihan dan keputusan. Bisakah algoritma mengungkap kompleksitas etika sosial? Apakah pengertian “baik” versi algoritma sejalan dengan pengertian manusia? Filsafat mengingatkan kita, kebijakan publik tidak boleh hanya mematuhi logika, ia harus bermakna dan cukup lentur untuk diterapkan dalam kehidupan yang penuh dinamika.
- Pertanyaan Moral Banal: Bayangkan algoritma dihadapkan pada situasi darurat dan diminta memilih siapa yang akan diselamatkan, tanpa paham pada konteks, tanpa empati, dan tanpa peduli harga diri manusia. Dari sinilah datang pertanyaan tentang moralitas, Hannah Arendt pernah bercerita soal “kejahatan banal”, kekejaman yang tidak muncul dari niat jahat, melainkan dari ketiadaan refleksi moral. Di dunia maya, kejahatan ini berwujud seperti keputusan yang tampaknya netral, tetapi diam-diam menuntut tanggung jawab etis dari tangan manusia. Begitu kita berhenti menyoal niat, nilai, dan arti di balik keputusan algoritma, kita tak sekadar patuh pada jawaban Akal Imitasi (AI), melainkan melepaskan diri dari sisi manusia kita ke tangan mesin yang tidak mengerti hati nurani.
- Rencana Hidup Otomatis: Bayangkan sebuah Akal Imitasi (AI) yang bisa merancang jalur karier, pasangan hidup, bahkan hobi berdasarkan data profil yang kita hasilkan setiap hari. Sekilas, ini terasa praktis dan memudahkan. Tapi di situlah harusnya muncul kegelisahan, apakah kita masih bebas, atau sekadar mengikuti skenario yang dipetakan algoritma? Paul Sartre menegaskan, kita tidak dilahirkan dengan makna, kita mesti menciptakannya melalui pilihan. Jika hidup kita diarahkan oleh rekomendasi statistik, bukan keputusan autentik, kita berisiko kehilangan hal paling mendasar, kebebasan untuk memilih, untuk gagal, dan untuk menemukan makna dengan sadar.
Afutami dalam bukunya “Menjadi”, menyebut bahwa berpikir adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan, proses yang, jika dijalani dengan sadar, akan menumbuhkan pemahaman diri, memperkuat kemampuan memecahkan masalah, membuka ruang bagi ide-ide baru, dan memupuk empati dalam menjalin relasi antar manusia. Maka proses berpikir kritis selayaknya tidak boleh kita pasrahkan begitu saja kepada Akal Imitasi (AI), karena ternyata, ada beragam implikasi yang mestinya perlu kita telaah kembali.
Mempertahankan Filsafat di Dunia Algoritmik
Kesimpulannya, filsafat tidak akan mati, tetapi perannya harus lebih adaptif dan dikemas dengan lebih membumi kepada masyarakat luas. Ketiadaan perlunya filsafat hanyalah mitos jika kita mau menggunakan warisan pemikiran sebagai pedoman kritis. Terlebih kajian interdisipliner juga menyatakan, kurangnya refleksi kritis justru menunjukkan betapa pentingnya filsafat dalam menjembatani hubungan antara manusia dan Akal Imitasi (AI). Filsafat juga memungkinkan kita untuk terus-menerus mengevaluasi nilai-nilai apa yang dimasukkan dalam algoritma, serta selalu mempertanyakan hasil yang dibuat oleh Akal Imitasi (AI) ini.
Kita telah sampai pada titik di mana pilihan itu ada di tangan kita, apakah kita akan membiarkan algoritma menentukan apa yang benar menurutnya? Atau memakai akal sehat kita sendiri untuk memutuskan dengan sadar? Makin ke sini, dunia akan terus-menerus mengkuantifikasi setiap detail, dan untungnya filsafat tetap punya tempatnya untuk terus mempertanyakan. Apa makna, apa tujuan, dan apa nilai-nilai di balik setiap keputusan berbasis data algoritmik. Maka, setiap orang mesti sadar dan bertanya, apakah kita hanya menghabiskan waktu sebagai konsumen pasif algoritma, atau tetap berani berpikir dan hidup sebagai subjek yang utuh? Filsafat, ibarat napas sebuah masyarakat yang ideal, memampukan kita untuk menyediakan ruang bagi sebuah diskursus, demi menemukan kebenaran yang lebih dalam. Di sinilah letak ujian dan peluang, di tengah perkembangan Akal Imitasi (AI), apakah akal budi manusia masih memiliki nilai-nilai yang tak bisa digantikan oleh sebuah mesin kecerdasan? Atau sebenarnya kita malah sudah terlena dan mulai tenggelam?
Sumber:
- The Thinker — Wikipedia
- Diskusi Filsafat Bersama Ferry Irwandi Dikritik Warganet, Kenapa? — Kilat
- Ferry Irwandi (bukan) Seorang Mesias
- Dampak Algoritma pada Sosial Media Halaman 1 — Kompasiana.com
- Provokasi Ferry Irwandi: Saat Filsafat Terlalu Betah di Menara Gading
- Filsafat Teknologi — Bawa Kebaikan ke Manusia & Manusia ke Kebaikan
- Kreativitas vs Algoritma: Siapa yang Lebih Unggul dalam Menyelesaikan Masalah? Halaman 1 — Kompasiana.com
- Template Jurnal IJCCS
Ilmu pengetahuan itu bisa diperoleh dari manapun, namun yang terpenting ialah menyelaraskan ilmu pengetahuan yang kita peroleh dengan sebuah tindakan.
Baca juga :