Mencari Identitas Rasa: Ketergantungan dan Krisis Cita Rasa dalam Peradaban Industri Makanan

 


Renungan Ringan Tengah Malam Eps - 01


Dalam kehidupan modern yang serba instan, kalian sadar nggak sih, kalo kemampuan alami kita untuk mengenali cita rasa dari makanan itu perlahan mulai hilang?


Kok bisa? Jawabannya karena dominasi industri makanan!


Dalam era modern yang penuh dengan kemudahan dan kecepatan, kebiasaan makan dan minum seringkali hanya menjadi aktivitas sekunder yang kita lakukan secara otomatis tanpa benar-benar memperhatikan apa yang sebenarnya kita konsumsi selama ini. Industri makanan telah menjadi salah satu pilar utama dalam kehidupan kita, menawarkan berbagai produk instan yang menggiurkan dengan klaim kenyamanan dan kelezatan. Namun, apakah kita pernah berhenti sejenak untuk merenung tentang apa sebenarnya yang kita makan?

"Sejak dominasi industri makanan menguasai dunia, sejak itu pula kita dibohongi dan malah bangga."


Kok bisa? Karena kita terlena, kita dimanja dengan berbagai inovasi dan variasi rasa yang ditawarkan. Hingga tanpa kita sadari, kemampuan kita mencecap rasa sebagai anugerah Tuhan yang tiada tara itu sebenarnya sedang dirampas perlahan-lahan oleh industri makanan modern yang kita agung-agungkan.


Mari kita telaah lebih dalam. Industri makanan modern telah membanjiri pasar dengan produk-produk yang menawarkan kenyamanan dan kepraktisan, tetapi sering kali mengorbankan kualitas dan keaslian bahan-bahan yang digunakan. Salah satu aspek yang patut dipertimbangkan adalah penggunaan bahan-bahan sintetis dan tambahan kimia dalam produk makanan. Data menunjukkan bahwa sebagian besar makanan dan minuman yang dijual di pasaran mengandung bahan tambahan seperti pengawet, pewarna, pemanis buatan, dan perasa sintetis. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya tahan produk, meningkatkan daya tarik visual, dan menciptakan rasa yang lebih kuat dan konsisten. Sebagai contoh, kita lihat kopi instan yang dijual di pasaran. Sebagian besar dari kita mungkin tidak menyadari bahwa dalam pembuatan kopi instan, kandungan kopi asli dalam produk tersebut mungkin hanya sebagian kecil dari keseluruhan campuran. Sebaliknya, produk tersebut mungkin mengandung sejumlah besar gula dan bahan tambahan lainnya untuk menciptakan rasa yang disukai oleh konsumen.


Gula merupakan bumbu atau penyedap rasa yang kita temui sehari-hari. Gula bisa terkandung dimana saja termasuk buah, susu, nasi putih, makanan manis, minuman manis dan lain sebagainya. Maka tak menutup kemungkinan jika gula merupakan hal yang wajar kita konsumsi setiap hari. Namun, ada risiko berbahaya jika gula kita konsumsi secara berlebihan dari takaran yang seharusnya kita perlukan setiap hari. Hal terbaik yang bisa kita lakukan yaitu membatasi konsumsinya per-hari, agar tidak terjadi kecanduan gula. Kelebihan gula juga berisiko menyebabkan banyak penyakit diantaranya yaitu diabetes, obesitas, dan kanker. Menurut laporan Medical News Today, dalam editorial nutrisi, Dr. Undurti N. Das memberikan pendapat berisi fakta bahwa fruktosa, konstituen gula meja, atau sukrosa, dapat mengubah metabolisme sel dan tingkatkan aktivitas protein pemicu kanker.


Namun, dampak dari ketergantungan kita pada industri makanan tidak hanya berkutat pada aspek rasa semata. Penggunaan bahan-bahan sintetis dan tambahan kimia dalam produk-produk makanan telah menjadi perdebatan yang hangat dalam masyarakat. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa konsumsi makanan dan minuman yang mengandung bahan tambahan tertentu dapat meningkatkan risiko penyakit kronis seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.


Selain itu, ketergantungan kita pada makanan instan juga memiliki dampak yang lebih luas terhadap keanekaragaman konsumsi makanan kita. Kita kehilangan koneksi dengan proses alami memasak dan meramu makanan sendiri, sehingga menyebabkan kita kurang menghargai dan memahami rasa asli dari bahan-bahan makanan yang akan kita konsumsi. Selain itu, industri makanan modern juga seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan melalui penggunaan bahan-bahan kimia dan pola produksi yang tidak berkelanjutan.


Perlahan gaya hidup ini mungkin akan membuat kita melupakan esensi dari rasa makanan sejati, lupa akan kenikmatan nasi, bahkan tak bisa membedakan bagaimana rasa kunyit dan kencur. Dalam kehidupan modern, kita seakan dijauhkan dari kodrat kita sebagai bagian dari ekosistem alam. Kita lupa bahwa buah, dedaunan dan segala yang tumbuh di atas tanah selama jutaan tahun telah diciptakan Tuhan dengan segala manfaat untuk kita optimalkan. Kita lupa khasiat jahe, kencur, kunyit dan sama sekali tak tahu bagaimana tanaman itu memiliki manfaat dan keajaiban. Kita pura-pura lupa betapa banyak bahan makanan berbahaya yang masuk ke dalam tubuh kita. Kita pura-pura lupa bagaimana petani berjuang menyediakan bahan pangan tapi tak pernah sejahtera karena kalah dengan mesin dan gaya hidup yang kita sebut kekinian.


Coba kita renungkan?


Ketidakmampuan kita untuk secara naluriah menyadari hubungan antara tindakan yang kita lakukan dan persoalan yang ditimbulkannya seringkali membuka peluang untuk terjadinya bencana yang sangat tidak kita inginkan. Kita sama-sama buta. Sejak lahirnya peradaban, perlahan tapi pasti akan selalu muncul ancaman baru, sehingga sekarang ini kita sebagai spesies sebenarnya sedang menghadapi bahaya yang tak tertangkap oleh alarm persepsi yang kita punya sejak lahir. Dalam bukunya "Ecological Intelligence", Daniel Goleman mengatakan bahwa hal yang mungkin tidak kita sadari dari pasar bebas adalah adanya biaya tersembunyi di balik benda-benda yang kita buat, jual, dan beli bagi manusia dan bumi.


Namun, apakah kita benar-benar terjebak dalam kemelut ini tanpa ada jalan keluar? Tidak sepenuhnya. Salah satu langkah yang dapat kita ambil adalah dengan meningkatkan kesadaran konsumen tentang bahan-bahan yang digunakan dalam produk makanan dan dampaknya pada kesehatan dan lingkungan. Selain itu, mendukung pertanian lokal dan memilih produk-produk organik dan alami dapat membantu kita mendukung sistem pangan yang lebih berkelanjutan serta memperkuat koneksi kita dengan alam.


Tidak hanya itu, kita juga bisa memulai perubahan dari dalam diri kita sendiri. Mengembangkan keterampilan memasak dan meramu makanan sendiri dapat membantu kita menghargai dan memahami rasa sejati dari bahan-bahan makanan, serta membangun hubungan yang lebih dekat dengan apa yang akan kita konsumsi.


Dengan mengambil langkah-langkah ini, setidaknya kita bisa meretas kembali esensi kita hidup sebagai manusia, membawa perubahan menuju hidup yang lebih baik, sehat dan lebih sadar akan ketergantungan kita pada alam. Perlahan kita dapat memulai perjalanan untuk menemukan kembali identitas rasa dalam kehidupan modern kita. Kembali melirik makanan yang lebih alami dan organik, serta lebih menghargai keanekaragaman cita rasa yang ditawarkan oleh Tuhan semesta alam.

Baca juga :


#BelajarBerkaryaBerbagi 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.