Refleksi 80 Tahun Republik Indonesia Merdeka

 

Dokumentasi Pribadi Eka B. Panuntun (Belinteng, Sei Bingai, Langkat, Sumatera Utara)

Apakah Merdeka Sudah Kita Miliki, atau Masih Kita Cari?

Agustus datang kembali, seperti tahun-tahun sebelumnya. Suasana terasa lebih riuh, diwarnai merah putih yang berkibar di ujung-ujung bambu reyot hingga di kaca spion mobil mewah. Gema lagu perjuangan mengalun dari pengeras suara di gang-gang sempit, sementara deru mesin proyek strategis nasional diliburkan sejenak untuk menghormati momen sakral ini. Delapan puluh tahun Republik Indonesia berdiri. Sebuah usia yang tidak lagi muda, bahkan cukup sepuh jika seandainya ia seorang manusia, dan semestinya cukup pantas untuk dibilang bijaksana, karena melalui tatapannya, ia telah menyaksikan ribuan fajar dan senja seumur hidupnya. Namun ini Indonesia, sebuah gagasan, dan sebuah rumah bagi kita semua. Di antara gegap gempita perayaan, dan usianya yang genap menjadi 80 tahun ini, pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah lekang dari benak kita justru semakin tajam dewasa ini.

Sudahkah kita benar-benar merdeka?

Wajah Baru Penjajahan

Kemerdekaan bukan hanya sebuah catatan di peta sejarah, ia adalah proses panjang yang terus menuntut pembuktian. Genap delapan dekade Indonesia merdeka, dan kini kita kembali dihadapkan pada persimpangan. Dari sedikit cerita yang pernah kita baca dalam buku sejarah, dahulu kala katanya, para penjajah itu selalu datang dengan kapal perang dan meriam. Namun delapan puluh tahun kemudian, mereka tidak lagi berwajah garang ataupun kejam. Wajahnya lebih polos, dibungkus diplomasi ekonomi, perjanjian investasi, hingga kontrak utang yang seolah-olah netral dan sahih. Namun, di balik kertas-kertas penuh tandatangan pejabat tinggi itu, ada konsekuensi yang sama seriusnya dengan masa kolonial klasik, ketergantungan, penghisapan, dan pengikisan kedaulatan.


Belum lagi oknum-oknum tanpa empati yang hidup di antara kita, yang mengenakan kemeja batik sutra, berbicara fasih tentang nasionalisme, sembari menggerogoti masa depan bangsa ini dari dalam organ vitalnya. Semacam bentuk kolonialisme baru yang jauh lebih licik lewat praktik korupsi, oligarki, dan sistem buruk yang membelenggu kita.


Sepertinya, kita semua perlu kembali membaca ulang sejarah, sekaligus menelisik kerumitan yang terjadi hari ini, agar kata “merdeka” tidak sekadar klaim formal tetapi benar-benar menjadi realitas kesejahteraan bagi kita semua (masyarakat Indonesia).


Kapitalisme, Kolonialisme, dan Warisan Struktural

Kapitalisme modern tumbuh seiring dengan kolonialisme. Sejak kapal-kapal dagang Inggris berlayar ke Asia pada abad ke-17, jalur rempah tak hanya membawa rempah itu sendiri, namun juga logika baru, akumulasi, pasar, bahkan penaklukan. India, Nusantara, Afrika, semuanya menjadi ladang perampasan yang disamarkan sebagai perdagangan. Di balik kisah “kejayaan Eropa” tersimpan kisah kelam, tubuh yang diperas, tanah yang dilucuti, hingga air mata yang ditukar dengan emas.


Ketika revolusi industri lahir, wajah kapitalisme makin jelas. Mesin-mesin uap di Inggris tak sekadar berputar oleh batu bara, melainkan juga oleh tenaga anak-anak yang dipaksa bekerja belasan jam dengan upah yang bahkan tak cukup untuk membeli roti. Di situlah perlawanan bermunculan, buruh bersuara, ide-ide sosialisme lahir, dan dunia dipaksa bertanya, apa arti kemajuan bila dibayar dengan penderitaan?


Gelombang itu pada akhirnya sampai juga ke tanah jajahan. Menariknya, Indonesia tidak menemukannya lewat lembaran buku, melainkan di gurat luka yang diwariskan dari generasi ke generasi. Lahan yang subur tergadai dan berpindah ke genggaman asing, rempah, kopi, dan hasil bumi lainnya berkarung-karung meninggalkan pelabuhan kita, yang tersisa di tanah air hanya kontras yang makin mencolok, segelintir orang berhasil menimbun harta dengan menghalalkan segala cara, sementara sebagian besar lainnya terjebak dalam hidup pas-pasan bahkan kekurangan untuk sekadar bertahan.


Sejarah tak pernah memberi pelajaran dengan cara yang halus. Ia menampar, sering kali dengan getir, bahwa merdeka bukan cuma soal mengusir penjajah dari bumi nusantara, melainkan juga membongkar susunan usang yang menjadikan rakyat sekadar penonton di tanah kelahirannya sendiri. Nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka tak sekadar bicara tentang politik, mereka membaca tanda-tanda zaman, menangkap luka kolektif, dan mengubahnya menjadi kompas agar rakyat tak lagi jadi tamu di tanah airnya.


Ada yang menyalakan obor nasionalisme lewat pekik kebangsaan, ada yang mengusung sosialisme dengan mimpi kesetaraan, ada pula yang meletakkan Agama sebagai jangkar moral dan spiritual. Ragam aliran itu sering kali beradu tajam, saling menegasi, bahkan terkadang menimbulkan ketegangan. Namun di balik banyaknya perbedaan, terselip satu kesadaran yang sama, kemerdekaan hanya mungkin diraih bila mereka berdiri sebagai satu barisan.


Maka sewaktu Pancasila dirumuskan, ia lahir bukan sekadar hasil dagang sapi politik atau kompromi dingin di meja perundingan. Ia adalah simpul yang menautkan beragam aliran besar kala itu, ibarat jembatan yang mengikat beragam cita-cita dalam satu janji bersama, republik ini berdiri di atas fondasi persatuan, dengan keadilan sosial sebagai napas yang meneguhkannya.


Ideologi, dialog, dan kompleksitas perjuangan kemerdekaan

Sosialisme di Indonesia tumbuh bukan dari lembaran teori kosong, melainkan dari studi empiris, tanah yang dirampas, buruh yang dipaksa bekerja tanpa suara, hingga desa-desa yang kehilangan akses atas sumber hidupnya. Gagasan Marx menjadi semacam bahan mentah intelektual, diterjemahkan, disulap, dan disambungkan dengan konteks lokal. Hasilnya bukan tiruan abal-abal, melainkan versi yang lebih luwes, sarat dengan semangat anti-imperial, dan tuntutan atas keadilan ekonomi yang konkret. Soekarno dan Tan Malaka, bersama sederet pemikir lain, meramu ide-ide itu ke dalam bahasa perjuangan yang dapat diterima rakyat, sosialisme di sini berwajah nusantara, lebih taktis, lebih adaptif, dan selalu mencari titik temu antara idealisme dan realitas lapangan.


Perjuangan kemerdekaan seharusnya adalah ruang dialog yang gaduh, penuh argumen dan kompromi. Perbedaan strategi, kapan kita harus bersuara keras, kapan kita meredam konflik demi konsolidasi, proses ini bukanlah bukti kelemahan, namun tanda bahwa gerak kolektif itu dinamis. Di saat genting, para pemimpin menenggelamkan ego demi tujuan yang lebih besar, persahabatan politik Soekarno–Hatta menjadi contoh bagaimana perbedaan dapat dikelola untuk kepentingan nasib bersama. Intinya, pluralitas ide jangan dijadikan penghambat, melainkan modal, asal ada kemauan untuk berbicara, mendengar, dan menata perselisihan menjadi visi bersama.


Keberagaman ideologi itu bukan kelemahan, ia justru wadah eksperimen politik. Dari Cokroaminoto yang menimbang elemen Islam dan sosialisme, hingga kelompok nasionalis yang merangkul elemen sosial, sejarah kita memperlihatkan bahwa sintesis, bukan sekadar kontra, sering melahirkan solusi yang relevan dengan kondisi lokal. Menyederhanakan narasi ini menjadi biner hanyalah pengingkaran atas kompleksitas nyata yang menjadi modal pembentukan negara.


Di ujungnya, Pancasila muncul sebagai upaya merangkum tuntutan-tuntutan itu, kesejahteraan sosial yang terkandung dalam sila-silanya adalah jejak ide-ide egaliter yang mengalir dalam rahim pergerakan kemerdekaan. Namun warisan normatif ini tidak otomatis menjamin praktiknya. Dialog harus hidup, ruang kritik harus tersedia. Bila perbedaan disumbat atau diinstrumentalkan untuk kepentingan sempit, demokrasi terkikis, polarisasi menggantikan deliberasi, dan janji keadilan berubah menjadi retorika tanpa isi.


Singkatnya, memahami warisan ideologis bangsa berarti menerima kompleksitasnya, mendemonstrasikan bahwa kemerdekaan sejati adalah kemampuan untuk terus berdebat, berkompromi, dan memperbaiki struktur sosial-ekonomi sehingga tujuan keadilan sosial yang dicita-citakan para pendiri dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Dokumentasi Pribadi Eka B. Panuntun (Rantau Malam, Sintang, Kalimantan Barat)

Suara dari Rantau Malam

Perjalanan ke Rantau Malam cukup menguji kesabaran, delapan jam darat dari Pontianak ke Nanga Pinoh (ibu kota Kabupaten Melawi), dilanjutkan lima sampai enam jam speedboat ke Serawai (Kecamatan Terdekat), lalu perlu dilanjutkan lagi lima sampai enam jam menaiki perahu klotok menelusuri sungai, seringkali lebih lama saat air sungai surut. Desa itu berada jauh dari peta kenyamanan kota, pintu masuk menuju Gunung Bukit Raya yang terasa seperti tepi dunia.


Malamnya pekat, listrik pun tak sampai di desa ini. Kami menginap di rumah warga dan hanya bergantung pada lentera minyak yang redup redam. Di bawah cahayanya, Beryl, kelas tiga SD, sedang mengerjakan PR. Buku paketnya lusuh, sudut-sudut halamannya sobek, setiap lipatan adalah bukti penggunaan berulang dan akses yang terbatas.

Dokumentasi Pribadi Eka B. Panuntun Beryl (8) sedang belajar ditemani lentera (Rantau Malam, Sintang, Kalimantan Barat)

Saya duduk mendekat, menatap halaman yang penuh coretan itu, lalu bertanya dengan nada rendah: “Masih bisa dibaca to, Ryl?” Ia mengangguk biasa, tapi mata kecil itu sudah menjelaskan lebih banyak. Di balik ketenangan itu terlihat kegigihan, anak kecil yang belajar menambal kekurangan dengan tekad, sementara kenyataan menunjukkan jarak besar antara kebijakan di kota dan kehidupan di pelosok.


Ia menambahkan, “Buku paket ini dipinjamin sekolah Om, jadi cuma boleh dibawa pulang sehari, besok harus dikembalikan untuk gantian sama yang lain.”


Saya terkejut, dan kembali bertanya, ”Beryl kalau udah gede, cita-citanya pengen jadi apa?”


“Pengen jadi tentara, Om.” Jawabnya cepat, polos, tanpa basa-basi, sebuah cita-cita besar yang keluar dari mulut bocah kelas tiga SD di pelosok daerah.


Saya iseng menguji imajinasinya, “Kalau nemu kerang ajaib, terus dikasih satu permintaan, kamu mau minta apa, Ryl?” Ia berpikir, ragu, bukan soal mimpi besar, jawabannya di luar bayangan saya, “Pengen ada lampu, Om. Biar belajarnya enak.” Sederhana. Langsung menyayat dan mengiris hati kecil ini.


Saya tersenyum dan menjawabnya dengan suara pelan agar tak mengubah momen itu, “Pasti, nggak lama lagi ada lampu, Ryl. Kamu tetep belajar yang rajin ya.” Janji kecil itu menutup percakapan malam itu, tetapi harapan yang muncul lebih dari sekadar cahaya, ia adalah tuntutan akan akses, martabat, dan kesempatan yang layak untuk tiap anak yang harus belajar di bawah lentera.


Pikiran saya menggantung di langit-langit. Hati saya campur aduk, marah, kesal, dan sedih bercampur jadi satu. Malam itu saya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kisah Beryl bukanlah fiksi. Ia adalah wajah dari jutaan anak lainnya yang mungkin juga belum terfasilitasi dengan baik oleh negara, sebuah hak untuk memperoleh pendidikan yang layak di negeri kita tercinta, meskipun mereka berada di daerah 3T (Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Ketimpangan ini menampar kesadaran saya, di Jawa kita sering hidup berlebih dan boros energi, sementara di sini, cahaya lampu masih menjadi kemewahan yang didambakan. Kapitalisme yang diagungkan sebagai mesin pencipta kekayaan justru menajamkan jurang itu, kekayaan tercipta di satu sisi, tetapi yang lain terpaksa kehilangan hak dasarnya. Maka, pertumbuhan ekonomi tak bisa lagi dielu-elukan jika kenyataannya hanya memperlebar ketidakadilan dan menumpuk air mata rakyat di bawahnya.


Ketika “merdeka” belum berarti, kasus Pati sebagai cermin lokal

Kasus Kabupaten Pati, di mana kenaikan pajak bumi dan bangunan hingga 250% memicu gelombang protes menjadi contoh bahwa simbol kemerdekaan formal belum tentu menjamin keadilan substantif. Ketidakmampuan pemerintah daerah membaca beban ekonomi masyarakat kecil, serta tata kelola yang kerap dipengaruhi kepentingan oligarki, menunjukkan adanya defisit representasi. DPRD yang membentuk Pansus adalah mekanisme yang harus bekerja, bukan sekadar prosedur. Tetapi akar persoalannya lebih dalam, pemangkasan dana dari pusat, ketergantungan fiskal daerah, dan tata kelola publik yang lemah terus menciptakan ruang bagi kebijakan sepihak yang menimbulkan resistensi sosial.


Protes di Pati bukan sekadar soal tarif, ia soal rasa diabaikan, rasa yang meluas ketika kebijakan publik tampak didikte oleh logika fiskal semata tanpa sensitivitas keadilan sosial. Ketika demokrasi lokal tak berjalan sebagai arena negosiasi publik yang inklusif, tuntutan perbaikan akan terus kembali dalam bentuk friksi sosial.


Refleksi 80 tahun: pembangunan, reformasi, dan bahaya retraksi demokrasi

Jika kita menilik garis besar delapan puluh tahun perjalanan bangsa, catatannya campur aduk, perjuangan, pembangunan, kelumpuhan, reformasi, dan modernisasi infrastruktur. Pada masa Orde Baru, stabilitas memang tercapai, tapi harus dibayar mahal dengan korupsi dan pelanggaran HAM. Reformasi ’98 pernah memantik harapan besar. Saat itu rakyat berhasil mengguncang dinding kekuasaan yang nyaris tak tergoyahkan, membuka celah bagi kebebasan berpendapat, melahirkan media-media kecil di pelosok, serta membuat demokrasi terasa lebih bernyawa. Namun, dua dekade lebih berlalu, bayangan lain muncul, ruang politik yang dulu terbuka kini kembali diperketat, kekuasaan perlahan dibangun kembali lewat jaringan oligarki, dan akhirnya mengeras di saku sempit segelintir elit.


Di saat bersamaan, pembangunan fisik dan ledakan ekonomi digital memang menjanjikan akselerasi kemajuan. Jalan tol dibangun, aplikasi tumbuh, pasar bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Tetapi di balik gegap-gempita itu, terselip ancaman yang tak kalah serius, yaitu beban utang yang kian menjerat dan ketidakadilan distribusi manfaat yang membuat jurang sosial semakin melebar.


Pada akhirnya semua kembali soal pilihan, apakah kita menginginkan pembangunan jadi cara merawat kemerdekaan rakyat banyak, atau malah berubah jadi mesin untuk memperkokoh segelintir elit?


Jalan kebijakan, dari simbol ke substansi

Lantas, apa langkah nyata yang bisa ditempuh? Ada beberapa simpul penting yang tak boleh hanya jadi wacana di atas kertas.

  1. Pertama, reformasi fiskal daerah. Selama ini banyak pemerintah daerah terjebak pada strategi menaikkan pajak regresif, yang justru membebani kelompok rentan. Yang dibutuhkan bukan sekadar tambahan pendapatan, melainkan mekanisme fiskal yang adil serta transparansi dalam penggunaan anggaran. Tanpa itu, kepercayaan publik mustahil tumbuh.
  2. Kedua, perlindungan sosial yang proaktif. Setiap kebijakan baik pajak maupun layanan publik harus ditimbang dari kacamata distribusi. Program-program yang langsung mengurangi jurang ketimpangan harus diprioritaskan, bukan ditunda.
  3. Ketiga, penguatan demokrasi lokal. Integritas DPRD, partisipasi warga, serta keterbukaan informasi perlu jadi perhatian yang lebih serius. Tanpa pengawasan publik yang efektif, keputusan eksekutif rawan berubah menjadi instrumen kepentingan segelintir elit.
  4. Keempat, pendidikan sejarah dan ideologi. Generasi baru berhak mengetahui bahwa kemerdekaan kita lahir dari pertukaran ide-ide besar. Nasionalisme, sosialisme, bahkan gagasan religius kala itu tidak menjadi halangan, melainkan modal perjuangan bersama. Mengabaikan kompleksitas ini hanya akan melahirkan pandangan sejarah yang tumpul.
  5. Kita butuh aturan yang jelas, bukan abu-abu. Tanpa itu, korporasi besar, baik lokal maupun asing akan terus menambang keuntungan dari sumber daya publik. Republik ini jangan dibiarkan jadi arena eksploitasi, di mana rakyat hanya jadi penonton yang menanggung kerusakan.

Paradoks Pembangunan: Mengukur Kemajuan, Melupakan Manusia

Kita hidup di zaman yang terobsesi dengan angka, pertumbuhan PDB, peringkat kemudahan berusaha, hingga jumlah kilometer jalan tol. Kita mencoba mengukur kemajuan dengan penggaris, seolah-olah martabat dan kebahagiaan bisa dikuantifikasi. Ini seperti mencoba mengukur luas awan dengan penggaris sekolah, sebuah upaya yang absurd.


Gedung-gedung mewah terus dibangun, seolah jadi simbol kemajuan. Tapi di balik itu, jurang antara yang kaya dan miskin malah makin lebar, segilintir orang hidup berlimpah, sementara puluhan juta lain berjuang untuk sekadar bertahan. Kita memang terkoneksi lewat kabel dan layar, tapi entah kenapa, rasa peduli satu sama lain terasa semakin jauh. Di mana Pancasila dalam semua ini? Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” terasa seperti kutipan usang. Kita terjebak dalam perayaan simbol, dan lupa bahwa esensi bernegara adalah merawat kemanusiaan.

Dokumentasi Pribadi Eka B. Panuntun (Berangkat sekolah)

Merdeka harus dipertahankan, bukan dipreteli

Kemerdekaan tidak datang sekali untuk selamanya, ia hidup hanya bila kita merawatnya bersama. Setiap kali kita berkumpul di bulan Agustus, yang kita hormati semestinya bukan hanya simbol, melainkan keberanian untuk terus menjaga makna merdeka melalui setiap tindakan dan pikiran kritis kita. Hari ini kita mewarisi tanah yang sampai saat ini masih terus ditekan oleh kepentingan politik dan pemodal. Kalau ukuran merdeka cuma sebatas perayaan simbolis setiap tahunnya, mungkin kita sebetulnya belum benar-benar merdeka. Merdeka yang hakiki hadir ketika rakyat tidak lagi dijerat oleh aturan ekonomi dan politik yang timpang. Dari sejarah kolonialisme, dari debat panjang founding father bangsa, hingga protes rakyat kecil di daerah-daerah seperti di Pati, kita bisa belajar kalau kebebasan sejati itu perlu keberanian untuk mengubah sistem, bukan cuma mengganti wajah penguasa.


Delapan puluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Perayaan ini harus menjadi momen refleksi kolektif yang menusuk dan jujur. Merdeka bukanlah kata benda yang bisa kita simpan di museum. Ia bukan piala yang kita arak setahun sekali. Merdeka adalah kata kerja.


Ia adalah pekerjaan rumah yang tak pernah selesai. Merdeka adalah memilih untuk tidak diam. Kemerdekaan berarti menjaga ingatan, bukan hanya tentang mereka yang gugur di medan juang, tapi juga tentang mereka yang terpinggirkan. Ia hadir ketika anak-anak di desa terpencil bisa menikmati mutu pendidikan yang sama seperti anak-anak di kota. Merdeka adalah menjaga kewarasan dan empati di tengah badai kebencian. Merdeka adalah merawat bumi kita, karena kemerdekaan tidak ada artinya di atas planet yang sekarat.


Maka, mari kita terjemahkan kata kerja itu menjadi tindakan nyata. Mulailah dengan bertanya, membaca, dan tidak menelan informasi bulat-bulat. Dukunglah jurnalisme independen yang berani bersuara. Berdayakan usaha kecil di lingkunganmu. Terlibatlah dalam komunitas yang peduli, sekecil apa pun perannya. Karena pada akhirnya, ini bukan tentang negara sebagai entitas abstrak. Seperti lirik lagu yang menghantui, ini tentang kamu. Tentang kita. Tentang setiap individu yang memilih untuk tidak menyerah.


Selamat ulang tahun ke-80, Indonesiaku. Mari kita berhenti merayakannya sebagai tujuan akhir, dan mulai mengerjakannya setiap hari. Perjuangan itu belum usai. Ia baru saja dimulai.


Ilmu pengetahuan itu bisa datang dari mana saja, namun yang terpenting ialah menyelaraskan ilmu pengetahuan yang kita peroleh dengan sebuah tindakan. Setiap langkah, betapapun kecilnya, yang kita ambil hari ini adalah jejak yang kelak membentuk warisan perjalanan kita sebagai manusia.


Baca juga :

#BelajarBerkaryaBerbagi 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.