Alarm untuk Republik

Bagaimana Kasus Tom Lembong Mengajarkan Kita Cara Bertindak di Era Algoritma
Catatan kecil sebelum membaca:
Saya tak punya latar belakang hukum, apalagi kapasitas akademis di ranah tata negara. Tapi di tengah riuhnya pemberitaan dan silang pendapat yang berseliweran, saya merasa perlu menulis, bukan untuk menghakimi siapa pun, melainkan sebagai bentuk perenungan pribadi. Tulisan ini tak lahir dari tempat yang tinggi, melainkan dari ruang yang sangat manusiawi, keresahan. Kalau ada bagian yang terasa tak nyaman, atau mungkin meleset dari konteks, saya mohon maaf, dan sepenuhnya terbuka untuk dikoreksi. Niat saya sederhana, belajar bersama, merenung sejenak, dan semoga, meski sedikit, bisa membuka ruang diskusi yang lebih sehat dan jernih.
“Sebuah negara adalah permainan besar yang seharusnya kita mainkan bersama secara imparsial”, ungkap Mas Sabrang di salah satu konten youtube-nya. Sehingga, ia membutuhkan wasit yang adil dan tidak memihak, sebuah sistem hukum yang buta terhadap nama dan kebal terhadap tekanan. Ketika wasit mulai goyah, ketika peluitnya ditiup bukan untuk menegakkan aturan tetapi untuk menguntungkan satu pemain di atas yang lain, maka seluruh permainan itu terancam runtuh. Karena fondasi dari kontrak sosial mana pun, yaitu kepercayaan, mulai terkikis secara perlahan.
Kasus Tom Lembong bukanlah sekadar berita utama yang lewat di sosial media kita. Ia adalah luka menganga pada tubuh keadilan Indonesia, sebuah simtom dari penyakit yang jauh lebih dalam. Ini adalah kisah tentang bagaimana hukum dapat dibengkokkan menjadi senjata, dan perlu kita ingat, ini bisa terjadi kepada siapa saja, di era di mana kebebasan berpendapat dan berekspresi semestinya telah berevolusi sejak era orde baru hingga masa kini.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Ketika Hukum Bisa Menikam
Mari kita perjelas apa yang terjadi. Seorang pejabat publik yang menerapkan kebijakan teknokratis dijerat dalam pusaran investigasi korupsi. Rangkaian peristiwanya sarat dengan anomali, waktu penyelidikan yang bertepatan dengan eskalasi politik, dakwaan kerugian negara tanpa bukti niat jahat (mens rea), hingga putusan yang bernuansa politis, yang mungkin lebih mencerminkan siapa yang berkuasa ketimbang siapa yang bersalah. Mungkin.
Jangan heran jika iklim ketakutan perlahan tumbuh, bukan lewat teriakan atau kekerasan fisik, tapi lewat pesan tersirat, jangan melewati garis batas. Para birokrat yang berpikir rasional, yang selama ini mengabdikan diri pada pelayanan publik, kini menghadapi pilihan getir, melanjutkan integritas atau menyelamatkan diri sendiri. Sebab risikonya di depan mata. Terobosan dianggap penyimpangan. Keberanian dianggap pembangkangan. Proses hukum bukan lagi ruang mencari keadilan, tapi alat untuk melumpuhkan.
Di balik semua itu, ada kehidupan yang pelan-pelan remuk. Karier yang dibangun selama puluhan tahun bisa runtuh hanya dalam satu pemberitaan. Nama baik yang dirawat dengan hati-hati justru dicoreng tanpa ampun. Yang tersisa hanyalah ketakutan, ketidakpastian, dan rasa waswas bahwa tak ada lagi ruang aman bagi niat baik. Dan saat para teknokrat yang jujur mulai diam karena takut, kita tahu, negara sedang berjalan di tepi jurang.
The Power of Ambiguity
Mengutip kembali konten youtube Mas Sabrang, ia sempat mengatakan, “bahwa ketidakpastian atau ambiguitas, itu akan meletakkan arah pendapat pada presumsi orang terhadap sesuatu”. Sidang yang berjilid-jilid atas kasus Tom Lembong, tak ayal makin memupuk krisis kepercayaan dari publik. Katanya, The Power of Ambiguity, jika tidak dimanfaatkan secara bijak, bisa menghasilkan percikan atau efek berantai yang berlarut-larut, seperti apa yang telah terjadi dan kita saksikan hari ini.
Sebenarnya apa sih yang terjadi? Kok tidak clear? Kenapa putusannya tidak masuk akal? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lainnya. Atau mungkin asumsi kita salah? Boleh jadi putusannya sudah sangat-sangat bijaksana, namun kita saja yang tidak paham pada cara berpikirnya?
Sehingga sangat penting untuk membuat masyarakat paham terhadap duduk perkaranya, jangan biarkan masyarakat terombang-ambing pada ketidakpastian, buat mereka paham terhadap alur berpikir dan putusan seperti itu. Tentu kalau memang sudah sangat adil, dan punya argumentasi yang kuat, toh tinggal dijelaskan saja, buat apa dibikin rumit?
Gesekan yang Mengubah Arah
Saat ruang pengadilan terasa sesak, arena perlawanan mulai bergeser. Respons publik bukanlah ledakan kemarahan spontan, melainkan sebuah kampanye perlawanan digital yang terkoordinasi dengan baik. Fenomena ini dapat dianalisis secara presisi melalui Teori Friction Shifting (FST), sebuah kerangka baru yang digagas oleh Ferry Irwandi (2025) untuk menjelaskan bagaimana lanskap algoritma dapat direkayasa secara strategis untuk memicu perubahan yang terarah.
Analoginya sederhana namun mengena, seperti memindahkan gigi (friction shifting) pada sepeda. Untuk mendaki tanjakan curam, seorang pesepeda harus secara sadar “menggeser gigi” agar mendapatkan traksi. Demikian pula, FST bekerja dengan menciptakan “gesekan” berupa lonjakan interaksi yang terukur untuk “mendorong” algoritma platform menampilkan konten tertentu secara lebih luas.
Gerakan digital untuk Tom Lembong menerapkan tiga elemen inti FST secara efektif:
1. Sumber (Source): Fondasi intelektual perlawanan dibangun oleh figur-figur kredibel. Tim pengacara menyediakan argumen hukum yang solid, pakar seperti Mahfud MD memberikan validasi moral, dan para analis menyajikan data yang memperkuat narasi.
2. Amplifier: Konten dari Sumber kemudian diperkuat secara masif oleh para influencer, media, dan akun-akun penyebar (klipper). Mereka mengemas ulang informasi kompleks menjadi format yang mudah dicerna, memperluas jangkauan dan resonansi.
3. Banter: Interaksi, perdebatan, dan adu argumen pro-kontra yang dipicu oleh konten tersebut menciptakan “gesekan” (friction) digital. Algoritma, yang dirancang untuk memprioritaskan engagement merespons dengan mendorong narasi ini ke audiens yang lebih besar, mengubah kasus hukum individual menjadi krisis reputasi institusional.
Tekanan ini tidak terjadi secara organik semata, ia direkayasa secara metodis. Dan hasilnya adalah gelombang politik yang cukup besar, sehingga mustahil untuk diabaikan oleh eksekutif, sebuah bentuk konkret dari shifting dalam sistem kekuasaan, melalui gesekan digital yang terukur.
Tuas Pengaruh dan Paradoksnya
Kasus ini menandai pergeseran mendasar dalam relasi antara teknologi, kekuasaan, dan opini publik. Peringatan tentang teknologi kontrol tetap relevan, namun kasus ini menunjukkan bahwa teknologi adalah pedang bermata dua. Abolisi yang diberikan bukanlah hasil dari ruang hampa, ia merupakan respons logis terhadap krisis politik yang dimanufaktur secara digital.
Di sinilah kita dihadapkan pada realitas yang cukup pahit. Meskipun algoritma sudah tak lagi menjadi wilayah eksklusif bagi segelintir pihak. Ia telah menjadi tuas pengaruh yang bisa dimanipulasi. Dan tuas ini membawa risiko, ia rentan terhadap backfire, memperkuat polarisasi, dan dapat disalahgunakan untuk menyebarkan disinformasi.
Bahaya sesungguhnya kini bukanlah keberadaan teknologi itu sendiri, melainkan pada literasi yang tidak merata dalam memanfaatkannya. Jika seorang figur publik membutuhkan mobilisasi sebesar ini, bayangkan nasib seorang aktivis lingkungan, jurnalis lokal, atau warga negara biasa. Tanpa akses ke amplifier digital, suara mereka akan mudah tenggelam dalam kebisingan.
Perlawanan Cerdas
Abolisi ini, pada akhirnya, bukanlah perayaan kemenangan demokrasi. Ia adalah penanda betapa sakitnya demokrasi kita, di mana mekanisme informal ternyata sangat diperlukan untuk mengoreksi kegagalan sistem formal.
Peristiwa ini menggarisbawahi bahwa, hari ini check and balances yang paling efektif tak lagi hanya bersemayam di institusi formal, melainkan pada kemampuan publik untuk mencari kebenaran dan mengorganisir diri secara digital. Dan generasi muda yang kritis adalah harapan, namun harapan saja tidak cukup. Perlawanan harus cerdas dan strategis. Ini bukan lagi sekadar tentang menyuarakan pendapat, tetapi menguasai strategi penyebaran pesannya.
Tugas kita ke depan cukup banyak:
Pertama, kita perlu mulai dari yang paling mendasar tapi kerap diabaikan, yaitu membangun literasi kritis. Bukan sekadar membaca, tapi memahami konteks, menggali motif, dan menemukenali kapan hukum berhenti bersifat imparsial, lalu berubah menjadi alat kekuasaan. Kita perlu belajar membedakan antara suara yang jujur dengan narasi yang sengaja dibelokkan menjadi fitnah.
Kedua, kita mesti berdiri bersama mereka yang berjuang sendirian. Mendukung sumber-sumber independen, jurnalis, peneliti, aktivis, dan organisasi masyarakat sipil, yang tetap teguh menyuarakan kebenaran, meski angin publik tak selalu ramah. Mereka ini, dengan segala keterbatasannya, adalah barisan paling depan dalam menjaga agar akal sehat tidak punah.
Ketiga, kita harus berhenti jadi penonton diam di dunia digital. Kita butuh membangun jaringan solidaritas, yang cepat, peka, dan tak mudah diam ketika melihat ketidakadilan. Sebuah ekosistem digital yang bisa merespons dengan gesit saat ada yang diserang, mengangkat suara mereka ke permukaan, dan memberi mereka tempat berpijak agar tidak jatuh sendirian.
Dan kita harus mulai dari sekarang.
Sebab algoritma, seperti halnya ombak di lautan, adalah gelombang yang bisa datang dan pergi begitu saja. Bila tidak kita gunakan, ia akan berpihak pada mereka yang paling lantang, dan bukan yang paling benar. Maka sebelum tuas itu benar-benar menjauh dari genggaman, sebelum algoritma dikunci oleh mereka yang tak ingin kita bicara, gunakanlah. Gunakan dengan kepala dingin, dengan mata terbuka, dan hati yang tak gampang goyah. Gunakan dengan keberanian untuk terus bertanya, bahkan ketika jawabannya tidak populer. Gunakan dengan kesadaran bahwa di balik setiap klik, ada pertaruhan, antara ikut membisu, atau ikut mencari kebenaran. Dan bila mungkin, keadilan.
Ilmu pengetahuan itu bisa diperoleh dari manapun, namun yang terpenting ialah menyelaraskan ilmu pengetahuan yang kita peroleh dengan sebuah tindakan.
Baca juga :
Tidak ada komentar: